Heni Jaladara adalah nama pena seorang penulis yang juga mantan TKI. Nama aslinya Heni Sri Sundani, 27 tahun, asal Ciamis, Jawa Barat. Ayahnya buruh tani dan ibunya pernah menjadi buruh pabrik di Bekasi. Heni bukanlah TKI biasa, yang bekerja ke luar negeri sekadar untuk mendapatkan uang dan setelah itu pulang. Ia adalah TKI pembelajar, yang jeli dan cerdas dalam membaca dan memanfaatkan kesempatan di tengah kesempitan. Di samping melakukan kerja rutin s
ebagai pekerja rumahtangga di Hongkong, ia juga bekerja keras untuk menempuh pendidikan tinggi. Tak heran, setelah enam tahun menjadi TKI, Heni kembali ke Indonesia dengan menyandang gelar sarjana bidang kewirausahaan dari universitas Saint Mary Hongkong dan sekaligus mengantongi ijasah pendidikan D3 di bidang IT. Selain kerja keras untuk meraih sarjananya, selama menjadi TKI Heni juga mengasah diri dengan membaca dan menulis. Dengan itu ia dapat mengenali bakatnya sebagai penulis dan mengasah ketrampilannya dalam mengolah kata. Tulisannya yang berjudul “Surat Berdarah Untuk Presiden” memenangkan lomba menulis surat untuk Presiden yang diselenggarakan Dompet Duafa. Tulisan itu pula yang mengantarkannya menjadi wakil Indonesia di forum “Ubud Writer”, forum internasional bagi para penulis yang datang dari berbagai negara.
TKI seperti Heni masih terbilang langka. Tidak sedikit memang TKI yang mampu melanjutkan pendidikannya sampai tingkat sarjana. Tetapi mereka menempuh pendidikan tinggi dan meraih sarjananya setelah kembali ke Indonesia. Sementara Heni menempuh pendidikan tinggi dan meraih sarjananya di saat masih menjadi TKI. Sulit membayangkan bagaimana seorang TKI bisa bekerja di negara orang sambil kuliah. Itulah salah satu prestasi Heni. Bagaimana Heni melakukan itu semua? Apa yang mendorongnya untuk bekerja keras dan menempa diri selagi menjadi TKI? Berikut adalah narasi perjalanan hidup seorang Heni Jaladara hingga menjadi seperti sekarang.
Awal Mula Menjadi TKI
Hidup dan tinggal di desa memang tidak memberinya banyak pilihan. Satu-satunya pilihan yang memberi peluang bagi Heni untuk bisa melanjutkan kuliah adalah menjadi TKI. Inilah yang membuatnya nekat meminta tolong tetangganya untuk mengantarkannya ke kantor PJTKI. Kebetulan tetangganya ini adalah mantan TKI yang baru kembali dari Singapura. Saat itu Heni baru saja lulus SMK, bahkan ijasah pun belum ia terima. Hanya empat bulan Heni berada di penampungan PJTKI dan hanya empat bulan itu pula ia belajar bahasa Kanton. Pada Oktober 2005 ia diberangkatkan ke Hongkong bersama 19 TKI lainnya.
Pilihan Heni menjadi TKI tidak terlepas dari peran seorang guru bahasa Mandarin sewaktu ia belajar di SMK. Guru tersebut pernah dua tahun bekerja di Korea. Sepulang dari Korea ia melanjutkan kuliah dan kemudian menjadi guru bahasa Mandarin. Guru inilah yang menjadi model bagi Heni dalam memilih jalan hidup. Heni ingin menjadi seperti gurunya, bekerja di luar negeri untuk membiayai kuliahnya dan kemudian menjadi guru.
Dua tahun bekerja di Hongkong Heni digaji di bawah standar. Upah standar pada saat itu Rp 4 juta sebulan, sementara Heni hanya terima Rp 2 juta sebulan. Bersama 19 TKI lainnya Heni terkena tipu PJTKI pengirimnya. Karena gaji tidak sesuai ketentuan, 18 TKI tidak menyelesaikan kontrak dan kembali ke Indonesia. Sementara Heni bersama satu TKI lain memilih untuk tetap menyelesaikan kontrak. Bukan hanya mendapatkan gaji di bawah standar, identitas Heni juga dipalsukan oleh PJTKI pengirimnya. Tahun kelahirannya diubah. Yang seharusnya 2 Mei 1987, pada paspor tertulis 30 Desember 1983. Saat mengurus paspor, pihak PJTKI melibatkannya hanya pada saat pengambilan foto. Bahkan yang menandatangani paspornya pun bukan dia tetapi pihak PJTKI. Paspor ia terima di bandara, menjelang keberangkatannya ke Hongkong. Pemalsuan data ini pula yang membuat Heni kini tak bisa lagi memasuki Hongkong.
Dengan gaji di bawah standar, Heni tidak memiliki uang cukup untuk bisa melanjutkan kuliah. Apalagi dia masih harus mengirim uang untuk orang tuanya di kampung. Tidak seperti kebanyakan TKI yang memanfaatkan waktu luang untuk jalan-jalan dan berbelanja, Heni lebih suka menggunakan waktu luangnya untuk membaca dan menulis. Menurutnya, daripada mengumpulkan dan menyimpan banyak uang, lebih baik uang itu dipakai untuk pendidikan. “Buat apa punya banyak uang kalau tidak bisa mengelolanya. Lebih baik uang itu dipakai untuk pendidikan”, begitulah cara Heni memanfaatkan hasil kerjanya. Cara pandang ini pula yang membuat Heni lebih memilih belanja buku daripada belanja baju.
Hobi membaca dan menulis membukakan jalan bagi Heni untuk mendapatkan uang tambahan dan informasi seputar pendidikan di Hongkong. Dari koran yang dibagikan gratis di tempat-tempat publik, ia mengetahui tentang kesempatan untuk mengikuti program D3 yang baru dibuka di Hongkong dan juga informasi tentang universitas Saint Mary yang menerima mahasiswa baru angkatan pertama. Sementara koran dan majalah berbahasa Indonesia yang ada di Hongkong memberinya kesempatan untuk mengasah bakatnya dalam menulis. Ia menulis opini, resensi buku, artikel motivasi, cerpen, dan juga potret kehidupan TKI di koran dan majalah berbahasa Indonesia. Ia juga mengikuti berbagai lomba menulis yang diumumkan di koran dan majalah berbahasa Indonesia itu. Dari hasil menulis dan memenangkan lomba inilah Heni bisa mendapatkan uang tambahan untuk membeli buku.
Gaji di bawah standar selama dua tahun ia manfaatkan untuk membiayai pendidikan, selain membantu orang tuanya di kampung. Belum sampai dua tahun bekerja, ia sudah mendaftarkan diri mengikuti kuliah diploma (D3) bidang IT. Majikannya sama sekali tidak tahu kalau ia kuliah. Sebab kuliahnya hanya berlangsung pada hari minggu. Selebihnya adalah mengerjakan tugas secara mandiri. Tugas dikirimkan via email. Sistemnya seperti universitas terbuka di Indonesia. Tugas kuliah ia kerjakan pada malam hari, tanpa sepengetahuan majikannya. Hasil kerjanya ia sisihkan untuk membeli laptop. Majikan juga tidak tahu kalau Heni memiliki laptop. Sambil mengurus anak sekolah, Heni membawa tas dan buku-buku. Ia juga selalu membawa kertas untuk menulis ide yang sering datang tiba-tiba. Sambil bekerja mengantar dan mengurus anak majikan yang sekolah, Heni membaca, belajar, dan juga menulis. Tugas-tugas kuliah ia kirimkan setelah selesai berbelanja. Biasanya sehabis berbelanja buat majikan, ia mampir dulu ke internet untuk mengirimkan tugas kuliah. Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan majikan.
Keranjingan Pendidikan
Hani mengaku beruntung, selama bekerja di Hongkong mendapatkan majikan yang baik. Meskipun majikan pertama memberinya gaji di bawah standar, namun Heni tetap menilai majikannya orang baik. Sebab majikan memberinya gaji di bawah standar bukan karena ia mau berlaku curang. Majikan itu sebenarnya ingin sekali membayar Heni dengan gaji tinggi, hanya saja ia benar-benar tidak mampu. Heni menilai majikannya baik karena majikan tidak pernah marah meskipun Heni sering bangun kesiangan. Tidur larut malam demi mengerjakan tugas kuliah membuat Heni sering bangun kesiangan. Majikan juga melarang Heni membersihkan jendela karena khawatir ia jatuh. Ia juga perhatian terhadap kesehatan Heni, termasuk memberinya sarung tangan agar tangan Heni tidak terluka saat mencuci piring.
Setelah menyelesaikan kontrak di majikan pertama, Heni bekerja pada majikan kedua yang memberinya gaji Rp 4 juta sebulan. Selain baik, majikan baru ini juga murah hati. Mereka sering memberinya bonus dan juga membantu membayar uang kuliah Heni. Saat bekerja pada majikan kedua ini, Heni seperti kerbau dicocok hidungnya terkait dengan pendidikan. Di samping mengerjakan tugas-tugas sebagai PRT, Heni benar-benar mencurahkan perhatian dan menggunakan waktunya untuk belajar. Saat itu ia benar-benar keranjingan dengan pendidikan. Ia bertekad, pada saat kembali ke Indonesia nanti ia sudah menjadi sarjana. Ini semua tidak terlepas dari pengaruh majikan kedua. Majikan kedua menjadi model baginya dalam memandang dan menjalani hidup. Heni mengaku, kebaikan majikannya inilah yang banyak mengubah hidupnya.
Majikannya masih muda, berasal dari keluarga miskin yang banyak anak. Ia menjadi orang sukses karena mendapatkan beasiswa dan berhasil meraih pendidikan tinggi. Tidak seperti kebanyakan majikan dari para PRT di negara tujuan, majikan Heni sangat menghargai PRT-nya. Mereka tahu berempati dengan PRT yang sama-sama berasal dari keluarga tidak mampu. Sebagai PRT, Heni diperlakukan dengan baik. Ia boleh berjilbab, berpuasa, dan juga menjalankan sholat. Bahkan pada saat puasa, majikan memberikan perhatian lebih. Ketika Heni sakit, majikan tidak membolehkannya bekerja. Majikan memaksanya beristirahat sampai benar-benar sembuh. Majikan juga tidak pernah memintanya memasak babi. Kalau ingin makan babi, majikannya memilih makan di luar. Majikan tidak pernah memisah-misahkan makanan. Apa yang dimakan majikan, itu juga yang dimakan Heni. Bahkan majikan selalu mengajaknya makan bersama. Mereka menunggu sampai Heni selesai bekerja, barulah mereka makan bersama.
Dari majikannya yang kedua ini Heni mengaku mendapatkan energi besar untuk belajar, meraih pendidikan tinggi, dan sekaligus menjadi orang baik. Majikan sangat mendukung Heni untuk melanjutkan studi. Dari majikannya ia mendapatkan laptop. Beberapa kali uang kuliahnya juga dibayar majikan. Heni sangat terkesan dengan sikap dan perlakuan majikan pada PRT-nya. Sebelumnya, majikan ini mempekerjakan PRT asal Filipina dan PRTnya ini juga diperlakukan sangat baik. Meski sudah memiliki PRT baru, majikan masih menjalin kontak dan berkomunikasi dengan mantan PRT-nya yang sudah kembali ke Filipina. Majikan Heni memposisikan PRT benar-benar sebagai yang sejajar dengan dirinya. Heni sendiri merasakan betapa perlakuan majikan padanya lebih dari yang ia harapkan. Begitu banyak kebaikan yang ia terima dari majikannya. Ia dipandang dan diperlakukan benar-benar seperti keluarga sendiri. Heni merasa benar-benar beruntung karena selama ini banyak majikan menuntut PRT-nya bekerja dengan baik sementara mereka tidak memperlakukan PRT-nya dengan baik. Menurut Heni, PRT tidak mungkin bisa bekerja dengan baik bila majikan terus menekan.
Selain bekerja dan belajar, Heni juga peduli pada sesama TKI di Hongkong yang tengah mengalami masalah. Belajar dari kasusnya sebagai TKI yang ditipu PJTKI, Heni tidak ingin ada orang lain yang mengalami penipuan seperti dirinya. Itulah mengapa ia meluangkan waktu untuk aktif di organisasi yang peduli pada TKI, seperti ATKI, IMWU, dan juga Dompet Duafa. Dengan aktif dalam organisasi itu, Heni bisa membantu para TKI lain yang mengalami masalah. Saat itu Heni banyak dikenal para TKI lain karena ia ada di banyak tempat. Ia juga menularkan hobi membacanya pada para TKI. Ia membuka perpustakaan lesehan di Victoria Park, tempat mangkalnya para TKI Hongkong saat liburan. Pada hari Minggu, Heni datang ke Victoria Park dengan membawa banyak buku. Dengan itu ia berharap, banyak TKI yang mau mengisi waktu luangnya dengan belajar dan membaca.
Dibentuk dan Dibesarkan Buku
Kemampuan Heni dalam menulis tidak datang tiba-tiba saat menjadi TKI di Hongkong. Kemampuannya ini tidak terlepas dari hobinya membaca buku. Sudah sejak kecil Heni keranjingan membaca buku. Semasa di sekolah dasar, Heni tinggal bersama neneknya. Ibunya saat itu menjadi buruh pabrik pensil di Bekasi. Neneknya yang cacat jemari kaki tangannya dan juga buta aksara tak bisa membantunya belajar. Praktis Heni mencari sendiri bahan-bahan untuk belajar.
Saat bersekolah di SD, Heni harus berjalan kaki satu jam menembus hutan karet. Ia sekolah tanpa dibekali uang jajan sebagaimana anak-anak lainnya. Saat anak-anak lain istirahat menghabiskan uang jajan, Heni mengurung diri di ruang perpustakaan. Sebab tidak ada uang untuk ia bisa jajan. Beruntunglah di SD-nya itu ada ruang perpustakaan yang penuh dengan buku. Ruang perpustakaan itu sudah jelek, dinding dan pintunya lapuk, pintunya juga sudah tidak bisa dikunci, dan buku-bukunya pun sudah rusak. Di sana ada buku-buku karya NH Dini, AA Navis, Pramudya Ananta Toer, dan lainnya. Dari buku-buku yang ia baca itulah ia mengenal dunia. Sudah sejak di SD, Heni membaca Rumah Kaca, Gadis Pantai, dan buku-buku karya Pramudya lainnya. Sepanjang enam tahun belajar di SD, pada jam istirahat Heni sendirian berada di perpustakaan. Heni membaca apa saja yang ia bisa baca, termasuk koran pembungkus gorengan.
Saat bersekolah di SMP, Heni masih harus berjalan kaki dengan menempuh jarak dua kali lipat jauhnya dari saat ia bersekolah di SD. Saat di SMP inilah Heni semakin keranjingan membaca buku. Ini dipicu oleh adanya perpustakaan yang besar sekali di sekolahnya. Dorongan dari guru kelasnya untuk menulis, menambah semangatnya untuk membaca buku dan juga menulis. Kegilaannya membaca ini membuat Heni meraih prestasi sebagai pembaca buku terbanyak. Sekolah memberinya buku dan alat tulis sebagai hadiah. Dalam setahun Heni membaca lebih dari 300 buku. Selama tiga tahun di SMP lebih dari 1000 buku telah ia baca.
Sebagai TKI pembelajar, Hongkong punya arti besar bagi Heni. Di sana Heni serasa menemukan “surga”. Sebab di sana ada di banyak perpustakaan dan di sana pula Heni bisa membeli banyak buku. Pada awalnya ia membaca buku anak-anak yang ada gambarnya. Dengan itu ia bisa sekalian belajar bahasa Inggris. Selain menemukan “surga”, di Hongkong pula Heni menemukan dirinya, mengenali bakatnya, dan sekaligus menyadari bahwa selama ini ia banyak dididik dan dibentuk oleh buku. Memang sudah sejak kecil Heni keranjingan membaca dan menulis, termasuk menulis puisi. Namun Heni saat itu belum mengenali bakatnya. Heni mengaku, bukulah yang banyak mendidik dan membentuk dirinya hingga menjadi seperti sekarang.
Motivator dan Penggerak Komunitas Desa
Selepas menjadi TKI, Heni kembali ke desanya, di Ciamis. Ia prihatin dengan kondisi desanya. Sejak ia tinggalkan, tidak tampak adanya perubahan di desanya. Desanya masih tetap miskin. Jalan tetap saja dari tanah. Mayoritas warga tetap hidup dalam kemiskinan. Warga desa tetap jadi buruh tani, tukang ojek, atau buruh bangunan. Heni prihatin, anak-anak yang dulu ia ajari mengaji kini sudah menikah dan tinggal di samping rumah orang tua mereka. Yang lebih mengenaskan lagi, orang-orang di desanya lebih konsumtif dari sebelumnya. Mereka membeli segalanya dengan cara kredit. Mulai dari HP, TV, baju, motor, tas, sampai sabun mandi semua dibeli dengan cara kredit.
Keprihatinan Heni akan kondisi masyarakat di desanya dan di desa-desa pada umumnya membuatnya bermimpi untuk membangun desa. Apalagi sudah cukup bekal untuk memulai melakukan sesuatu. Ia punya pengalaman menjadi guru di Sekolah Alam yang memberinya ketrampilan untuk menjadi guru yang baik. Ia juga sudah melihat model pengembangan desa pada kampung wisata bisnis di Bogor. Heni memulai langkahnya dengan menyisihkan uang untuk membeli buku bagi anak-anak desa. Setiap kali berkunjung ke kampung-kampung, ia membawa ratusan buku. Beruntung Heni bertemu dengan pasangan hidup yang punya kepedulian dan mimpi yang sama tentang desa dan pendidikan. Bersama suaminya Heni membuat wisata pendidikan pertanian di kampung Jampang, Bogor. Ia memberi nama komunitas untuk wisata pendidikan pertanian itu “Agro Edu Jampang Community”. Komunitas ini berisikan para petani dan keluarganya. Ada kesepakatan bersama antara pihak Heni dan komunitas, yang dituangkan dalam bentuk kontrak. Kontrak ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak, di antaranya: 1) Untuk setiap orang pengunjung, petani mendapatkan rata-rata Rp 15.000; 2) Pengunjung membeli oleh-oleh dan produk souvenir dari petani; 3) pihak Heni membantu komunitas melakukan promosi lewat media TV, koran, dan lainnya; 4) Pihak Heni membantu memberdayakan keluarga petani dalam bentuk pendidikan luar sekolah gratis. Dengan semboyan “Anak Petani Cerdas” Heni bersama timnya memberikan materi pendidikan luar sekolah berupa matematika, bahasa Inggris, jurnalistik, olah raga, pertanian, lifeskill, dan lainnya; 5) Pihak Heni memberikan pendidikan untuk pendidikan karakter dan pengembangan spiritual khusus untuk anak.
Ide membuat wisata pendidikan pertanian ini berawal dari peristiwa di mana PRT yang bekerja di rumah Heni tidak datang karena sakit. PRT-nya ini tinggal di kampung yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Heni. Saat mengunjungi PRT-nya yang sakit inilah Heni mendapati kenyataan, kondisi warga kampung di mana PRT-nya berasal sangatlah miskin. Mereka hidup dalam kondisi tidak layak. Padahal di kampung ini ada banyak potensi pertanian yang bisa dikembangkan. Muncullah ide untuk membuat wisata pendidikan pertanian.
Kini komunitas wisata pendidikan pertanian yang dibangun Heni bersama suami dan komunitas petani Jampang telah dikenal luas. Heni bukan hanya dikenal sebagai penulis, tetapi juga guru, motivator sekaligus penggerak komunitas desa. Sebagai penulis ia telah melahirkan tak kurang dari 17 buku dalam bentuk novel, kumpulan puisi, kumpulan cerita, dan lainnya. Sebagian besar tulisannya berangkat dari kisah nyata yang diramu dalam bentuk fiksi. Sebagai guru, motivator dan penggerak komuitas desa, Heni banyak menerima undangan untuk menjadi pembicara di berbagai forum diskusi dan seminar, menjadi motivator di dalam dan di luar ruang kelas. Tak ada yang percaya bahwa Heni Jaladara adalah seorang mantan TKI. ***
(sri palupi, peneliti institute ecosoc)
Posting Komentar