Belum lama ini Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Adab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN) Yogyakarta bekerjasama dengan Solusi Publishing, menyelenggarakan peluncuran dan bedah buku berjudul “Akulah Istri Teroris” karya Abidah El Khalieqy.
Acara ini tidak hanya dihadiri para mahasiswa, namun juga dihadiri beberapa tamu undangan dari Pengurus IMM Cabang Sleman, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan masyarakat umum. Acara yang dimulai pukul 09.30-11.30 WIB ini diadakan di Teatrikal Perpustakaan UIN Jogja dengan menghadirkan narasumber utama yaitu Abidah El Khalieqy selakupenulis novel.
Di awal acara, Evi Idawati, sastrawan muda peraih penghargaan SastraJogja Perdana, yang bertindak sebagai moderator, memulai acara bedah buku dengan memperkenalkan seluk beluk penulis yang merupakan kakak kelasnya di Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Abidah terdorong menulis novel dengan tema yang mengundang antusiasme masyarakat karena tawaran dan tantangan dari sahabatnya, untuk menulis nasib para istri-istri tertuduh kasus terorisme dalam perspektif kaum perempuan.
Dari pernyataan singkat sahabatnya tersebut, anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan suami-istri Abdul Khaliq dan Misnawati ini kemudian tergerak untuk memenuhi permintaan dari kawan lamanya.
Pada awalnya, novelis yang merupakan Alumnus Pondok Pesantren Putri Modern Persis, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur itu sempat ragu karena dirinya merasa tidak menguasai persoalan dan isu tentang terorisme, khususnya yang terjadi di Indonesia.
“Jika diprosentasekan, pada saat itu, saya baru mengetahui masalah yang berkecamuk seputar isu tersebut, sekitar 10 persen saja, tidak lebih”, aku penulis Novel Perempuan berkalung Sorban ini.
Lantas, novelis yang kini tinggal di Kota Budaya, Yogyakarta ini melakukan penelitian pustaka terkait dengan kasus terorisme.
Abidah menyelesaikan tulisannya, dia memutuskan untuk melakukan penelitian lapangan ke daerah Poso, Sulawesi Tengah.
Di antara hasil penelitiannya ini, ia mendapatkan kenyataan, bahwa ternyata para terduga kasus terorisme, secara umum dari segi fisiknya, tidaklah pantas untuk disebut atau dicap teroris.
“Kebanyakan dari mereka memiliki perawakan tubuh kecil, penampilannya sederhana dan sikapnya pun santun. Yang pantas dianggap teroris adalah Densus 88, yang memiliki badan besar, bicaranya keras, sikapnya kasar dan terlihat sangar. Pun, demikian halnya dengan para istri mereka. Mereka adalah perempuan santun, lembut dan sangat baik hati. Sungguh amat sangat salah jika masyarakat mengecam dan mengecek mereka dengan istilah ninja (hanya karena mereka memakai cadar), apalagi penyebutan istri teroris, wanita kejam ataupun ejekan lainnya,” tegasnya.
Dari hasil reportasenya, Abidah menyimpulkan bahwa ada grand design (rancangan besar) dari pihak tertentu di balik peristiwa isu terorisme di Indonesia. Setidaknya bertujuan untuk memojokkan, dan mengidentikkan Islam sebagai agama teroris, keras, ekstrem dan radikal.
Saat ditanya seorang peserta saat sesi tanya jawab, siapakah pihak tersebut, ia pun tidak menyebutnya.
“Melalui novel ini, saya ingin melakukan destigmatisasi (menghapus stigma) bahwa Islam itu identik teroris, atau mereka yang bercadar itu istri para teroris,” ujarnya.
Melalui novelnya pula, ia ingin membuka kesadaran semua pihak dan elemen, baik pemerintah, aparat kepolisian, masyarakat, tokoh agama dan masyarakat umum bahwa perempuan istri terduga kasus terorisme adalah makhluk Sang Pencipta yang juga harus dimanusiakan. Sebab mereka adalah seorang wanita, memiliki anak sekaligus anggota masyarakat yang ingin disikapi sebagaimana lainnya.
“Mereka semestinya lebih mendapatkan perhatian dan kepedulian dari semua pihak atas kejadian yang mereka alami. Bukan malah mendapatkan stigma sebaliknya,” keluh penyair kelahiran Jombang tersebut.
Dalam novel ini, Abidah mengisahkan kehidupan sehari-hari tokoh utama bernama Ayu. Ia mendapat perlakuan diskriminatif hanya karena suaminya terduga kasus terorisme. Ayu mendapat pandangan sinis bahkan dikucilkan para tetangganya.
Dengan diterbitkannya buku ini, Abidah berharap ada perubahan sikap di masyarakat dalam melihat istri terduga kasus terorisme.
“Setiap orang bebas untuk memilih jalan hidupnya, dia mau berpakaian tertutup, bercadar, atau terbuka. Kita tidak boleh men-stigma macam-macam hanya karena dia bercadar,” harapnya.*/Asep Setiawan (Yogjakarta)
Baca juga di :http://www.hidayatullah.com
Posting Komentar