Banyak yang menyimpulkan, termasuk di kalangan Soekarnois, bahwa Bung Karno menolak perjuangan kelas. Sebaliknya, menurut mereka, Bung Karno hanya berpegang pada revolusi nasional.
Betulkah Bung Karno menolak perjuangan kelas? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengajukan beberapa penjelasan:
Pertama, mari memeriksa pemahaman Bung Karno terkait kapitalisme dan kontradiksi kelas di dalamnya. Dalam berbagai risalahnya Bung Karno selalu menempatkan sistim kapitalisme sebagai akar persoalan yang melahirkan kepincangan atau penghisapan manusia atas manusia di dalam masyarakat.
Dalam risalahnya di tahun 1932, Kapitalisme Bangsa Sendiri, Bung Karno mendefenisikan kapitalisme sebagai berikut: “stelsel pergaulan hidup yang timbul daripada corak produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi.” Akibatnya, kata Bung Karno, meerwaarde (nilai tambah) tidak jatuh ke tangan kaum buruh, melainkan ke tangan kaum majikan.
Dalam konteks itulah, Bung Karno melihat kapitalisme cenderung melahirkan “verelendung” (pemiskinan) terhadap massa rakyat, terutama kaum buruh. Dalam konteks lebih jauh, karena didorong oleh persaingan merebut pasar dan akses bahan baku, kapitalisme juga melahirkan peperangan. Tak hanya itu, kapitalisme juga melahirkan imperialisme modern, yang menyebabkan bangsa-bangsa jajahan makin sengsara.
Kalau kita lihat, Bung Karno sangat menyadari adanya pertentangan kepentingan antara kaum buruh dan majikan. “..bahwa di seluruh sejarah umat manusia selalu ada pertentangan. Selalu ada kelassenstrijd (pertentangan kelas). Dulu di zaman feodal, pertentangan kelas antara kaum feodal dengan kaum yang difeodali. Di dalam alam kapitalisme juga ada pertentangan kelas antara kelas kapitalis dengan kelas proletar,” kata Bung Karno dalam Kuliah Umum tentang Pancasila, di Jogjakarta, 1958.
Kedua, Bung Karno menyadari bahwa penggulingan sistim kapitalisme merupakan prasyarat mutlak untuk mengakhiri kepincangan dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Ia selalu menekankan bahwa tujuan pergerakan rakyat Indonesia mestilah mengarah pada suatu masyarakat zonder (tanpa) kapitalisme dan imperialisme.
Namun, Bung Karno sadar, perjuangan itu tidaklah mudah dan selamanya berlangsung damai. Ia berulang-kali mengutip Karl Marx, “tidak ada suatu kelas yang mau melepaskan hak-hak istimewanya dengan kemauan sendiri.” Artinya, penggulingan kapitalisme mengisyaratkan jalan radikal, yakni penggulingan kelas borjuis oleh kelas proletar yang beraliansi dengan kelas tertindas lainnya.
Karena itu, Bung Karno memformulasikan “machtvorming”, yakni strategi pengakumulasian kekuatan, untuk memaksa kelas penindas bertekuk lutut atau dihancurkan. Dengan jalan inilah masyarakat adil makmur alias masyarakat tanpa kapitalisme/imperialisme bisa diwujudkan.
Ketiga, Bung Karno mengakui tugas historis dan kepeloporan kelas proletar dalam menggulingkan kapitalisme. Di dalam risalah Marhaen dan Proletar, Bung Karno terang-terangan bilang: “bahwa di dalam perjuanngan bersama daripada kaum Proletar dan kaum Tani dan kaum melarat lain-lain itu, kaum Proletarlah mengambil bagian yang besar sekali: Marhaen seumumnya sama berjuang, Marhaen seumumnya sama merebut hidup, Marhaen seumumnya sama berikhtiar mendatangkan masyarakat yang menyelamatkan Marhaen seumumnya pula –namun kaum Proletar yang mengambil bagian yang besar sekali.”
Terkait pengakuan terhadap kepeloporan proletar, Bung Karno punya argumentasi sangat kuat. Menurutnya, klas proletar merupakan klas yang dihasilkan langsung oleh kapitalisme. Hidup dan matinya kapitalisme berada di genggaman kaum proletar, kata Bung Karno. Tak mengherankan, klas buruh itu punya jiwa dan perasaan anti-kapitalisme.
Bung Karno kemudian menegaskan, dalam perjuangan menentang kapitalisme, kaum buruh menjadi pemegang panji-panji revolusi sosial. Itulah yang disebut oleh Bung Karno, yang mengutip Karl Marx, sebagai “keharusan sejarah”, bahwa memang sudah takdir historisnya kaum buruh berada di garda depan menentang kapitalisme.
Keempat, kesadaran Bung Karno bahwa kekuasaan harus di tangan kelas marhaen dan proletar. Bung Karno selalu menegaskan bahwa kekuasaan setelah Indonesia Merdeka haruslah di tangan kaum marhaen—yang di dalamnya juga terdapat kaum buruh.
Bung Karno banyak belajar dari pengalaman kegagalan revolusi di sejumlah negara di Eropa, terutama Perancis. Di sana, kaum borjuis mengajak kaum proletar dan rakyat jelata lainnya dalam persatuan di bawah slogan di bawah slogan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité), untuk menggulingkan kekuasaan feodal. Ironisnya, begitu berada di tampuk kekuasaan, kaum borjuis berkuasa sendiri dengan menyingkirkan kaum proletar dan rakyat jelata lainnya.
Karena itu, Bung Karno tidak ingin kenyataan pahit revolusi Perancis terulang di dalam revolusi Indonesia. Dalam risalahnya terkenal, Mencapai Indonesia Merdeka (1933), Bung Karno mengidamkan sebuah model kekuasaan rakyat, dimana semua urusan politik dan ekonomi berada di tangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Artinya, dengan berbicara kekuasaan di tangan rakyat, dalam hal ini di tangan kaum marhaen dan proletar, Bung Karno sudah berbicara mengenai kekuasaan di tangan sebuah klas. Ia menolak borjuisme dan keningratan, tetapi memihak kelas marhaen dan proletar.
Kelima, Marhaenisme sebagai sebuah analisa kelas. Ketika berbiacara marhaenisme, Bung Karno sebetulnya sedang menggunakan analisa kelas untuk membedah susunan sosial masyarakat Indonesia.
Bung Karno melihat, di eropa yang sudah mengalami revolusi Industri, kapitalisme membelah masyarakat menjadi dua kelas: borjuis dan proletar. Namun, ketika berbicara konteks Indonesia (saat itu masih Hindia-Belanda), kapitalisme yang berkembang melalui pencangkokan oleh kolonialisme Belanda tidak melahirkan pembelahan sosial yang tajam seperti di Indonesia.
Kenapa bisa begitu? Di eropa, kapitalisme yang berkembang adalah kapitalisme yang sudah mengalami “mechanische dan industrieele revolutie” (revolusi industri dan sudah termekanisasi). Sehingga yang berkembang di eropa adalah kapitalisme kepabrikan. Inilah yang melahirkan proletar murni.
Sebaliknya, di Indonesia, kapitalisme yang berkembang tercangkokkan oleh kolonialisme. Ironisnya, Belanda sendiri belum mengalami revolusi Industri kala itu. Sebagian besar kapital Belanda adalah “kapital finance” yang digelontorkan di sektor pertanian dan perkebunan. Akibatnya, yang berkembang di Indonesia adalah kapitalisme pertanian, yang hanya menghasilkan limpahan kaum tani melarat.
Bung Karno, yang mengutip Marx, mendefenisikan proletar sebagai orang yang tidak punya alat produksi dan, karena itu, menjual tenaga kerjanya pada orang lain/majikan/kapitalis. Dari menjual tenaga kerjanya itulah ia mendapat upah untuk membiayai kebutuhan hidupnya.
Masalahnya, di Indonesia, kendati jumlah kaum melarat melimpah ruah, tetapi mereka tidak bisa dikatakan proletar. Sebab, mereka masih memiliki alat produksi, kendati dalam bentuk kecil/subsisten. Dalam perkembangannya, Bung Karno menamai pemilik produksi kecil-kecil dengan sebutan “marhaen”. Jadi, marhaen adalah pemilik produksi kecil, dengan alat-alat kerja yang sederhana, tidak memperjakan orang lain, dan hasil produksinya pun hanya cukup untuk dirinya dan keluarganya.
Keenam, penekanan kepada revolusi nasional sebagai taktik politik menuju sosialisme. Jadi, dengan membaca hukum perkembangan masyarakat dan situasi objektif masyarakat Indonesia, Bung Karno berkesimpulan bahwa revolusi Indonesia mesti melalui dua tahap yang berkelanjutan, yakni revolusi nasional-demokratis dan revolusi sosialis.
Saat itu Indonesia masih terbelenggu oleh kolonialisme dan feodalisme. Kedua sistim itu merintangi bangsa ini menuju kemajuan. Karena itu, pada tahap awal, tugas pergerakan rakyat Indonesia adalah melakukan pembebasan nasional untuk mengusir kolonialisme. Di sisi lain, juga melakukan penghancuran terhadap sisa-sisa budaya feodal. Inilah yang disebut revolusi nasional-demokratis.
Dalam tahap ini, menurut Bung Karno, musuh pokok revolusi adalah kolonialisme dan feodalisme. Sebaliknya, kata dia, tenaga pokok revolusi nasional berasal dari dua kekuatan besar: pertama, rakyat jelata, khususnya kaum buruh dan marhaen, yang dihisap oleh kolonialisme/imperialisme dan feodalisme; kedua, kapitalis nasional yang membutuhkan ruang untuk tumbuh dengan mengusir kapitalis asing. Kedua golongan ini, kata Bung Karno, akan dipersatukan di bawah panji-panji “persatuan nasional”.
Nah, dalam konteks itulah Bung Karno menyerukan untuk tidak meruncingkan perjuangan kelas. Sebab, peruncingan perjuangan kelas akan memecah belah kekuatan-kekuatan yang mestinya disatukan dalam persatuan nasional, terutama kapitalis nasional.
Meski demikian, bukan berarti Bung Karno mengingkari perlunya penentangan terhadap kapitalis bangsa sendiri. Dalam risalah “Kapitalisme Bangsa Sendiri”, Bung Karno menegaskan sikapnya bahwa kaum marhaen harus juga melawan kapitalisme bangsa sendiri.
Hanya saja, dalam tahap perjuangan pembebasan nasional, ia menghimbau kaum marhaen dan proletar untuk tidak mengutamakan perjuangan kelas. Sebaliknya, ia menganjurkan perjuangan nasional. Bung Karno sadar, bagi negara jajahan seperti Indonesia (Hindia-Belanda kala itu), kontradiksi pokoknya adalah antara nation terjajah melawan penjajah.
Yang menarik, kendati menganjurkan penekanan pada perjuangan nasional, Bung Karno tidak menghalangi kelas buruh mengasah kesadaran kelasnya. “Kita harus malahan harus membuat kaum buruh dan tani klasse bewust (berkesadaran kelas). Oleh karena, justru dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur, kaum buruh dan tanilah yang harus menjadi motor,” kata Bung Karno saat penutupan Kongres Nasional ke-VI PKI, tahun 1959.
Ketujuh, Sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme sebagai jalan penghapusan kapitalisme/imperialisme.
Ini yang menarik dari gagasan Bung Karno. Sejak awal ia menyatakan kemerdekaan nasional sebagai tujuan akhir, melainkan “jembatan emas” menuju cita-cita yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur.
Dua ajaran inilah, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, yang menjadi pagar bagi perjuangan bangsa Indonesia agar tidak tergelincir dalam bentuk kekuasaan borjuis maupun kaum ningrat.
Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang memihak massa-rakyat. Ia menentang borjuisme dan keningratan. Dan karenanya, sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang anti-kapitalisme dan anti-feodalisme. Sosio-nasionalisme mencegah Indonesia merdeka tergelincir ke nasionalisme chauvinis ataupun nasionalisme borjuis.
Sementara sosio-demokrasi adalah demokrasi yang mengawinkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Di lapangan politik, ajaran sosio-demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan sekaligus menjalankannya. Sementara di lapangan ekonomi, sosio-demokrasi menghendaki pemilikan alat-alat produksi di tangan rakyat.
Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi akan memberikan koridor bagi Indonesia Merdeka agar tidak tergelincir ke jalan kapitalisme, apalagi feodalisme, melainkan bergerak menuju ke masyarakat adil dan makmur alias masyarakat tanpa kelas.
Jadi, Bung Karno membayangkan, Indonesia merdeka bukanlah negara borjuis, juga bukan negara monarki-feodal, tetapi negara yang sedang mengalami transisi menuju sosialisme. Dan saya kira, inilah yang menarik: Bung Karno membayangkan perjuangan nasional Indonesia, yang disuluhi oleh sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, akan menuju masyarakat sosialis.
Dalam konteks inilah, saya kira, kenapa Bung Karno tidak begitu banyak bicara soal keharusan perjuangan kelas. Pertama, perjuangan nasional bangsa Indonesia punya karakter anti-borjuisme dan anti-ningrat yang kuat. Kedua, perjuangan nasional Indonesia punya keberpihakan kelas yang jelas dan tegas, yakni kepada kaum marhaen alias rakyat tertindas. Ketiga, perjuangan nasional Indonesia punya cita-cita melikuidasi kapitalisme/imperialisme sebagai basis menuju masyarakat adil dan makmur.
Baca selengkapnya di http://www.berdikarionline.com/
Posting Komentar